BAB
10. AGAMA DAN MASYARAKAT
A.
AGAMA
DAN MASYARAKAT
Kaitan
agama dengan masyarakat hanya di buktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi
penulisan sejarah dan figure nabi dalam mengubah kehidupan sosial.Argumentasi
rasional tentang arti dari hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaraan akan
mauty menimbulkan relogi.Dan sila Kethunan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman
agamanya para tasauf.
Bukti
di atas sampai pada pendapat bahwa agama merupakan tempat mencari makna hidup
yang final dan ultimate. Kemudian pada urutan nya agama yang di yakininya
merupakan sumber motifasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya , dan
kembali kepada konsep hubungan agama dengan masyarakat , dimana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada
tindakan sosial , dn individu dengan masyarakat seharusnya tidaklah bersifat
antagonis.
Yang
mempunyai seperangkat arti mencakup perilaku sebagai pegangan individu (way of
life) dengan kepercayaaan dan taat dengan agamanya.Agama sebagai suatu sistem
mencakup individu dan masyarakat, seperti adanya emosi keagamaan, keyakinan terhadap sifat paham, ritos, dan upacara,
serta umat ataukeatuan sosial yang terikat kepada agama nya.
Peraturan
ama dengan masyakat penuh dengan hidup, menekan kan pada hal-hal yang normative atau menunjuk kepada hal-hal
yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan.
Karena
latar belakang sosial yang berbeda dari masyarakat agama, maka masyarakat akan
memiliki sikap dan nilai yang berbeda pula. Kebutuhan dan pandangan kelompok
terhadap prinsip keagamaan berbeda-beda, kadang kala kepentingan nya dapat
tercermin atau tidak sama sekali.
Kelompok
dalam masyarakat akan mencrminkan perbedaan jenis kebutuhan ke agamaan. Timbul
hubungan 2 arah, tidakhanya kondisi sosial saja yang menyebabkan lahir dan
menbarnya ide-ide serta nilai-nilai, tetapi bila ide dan nilai itu telah
terlembaga, maka akan mempngaruhi tindakan manusia. Karena itu perlu
mempelajari pengaruh struktur sosial terhadap agama, dan juga perlu mempelajari
pengaruh agama terhadap struktur sosial.
Salah
satu kasus akibat tidak terlembaganya adalah “anomi” , yaitu keadaan disorganisasi
sosial diamana bentuk sosial dan kultur yang telah mapan menjadi ambruk. Hal
ini, pertama disebabkan oleh hilang nya solidaritas apabila kelompok lama
dimana individu merasa aman dan responsive dengan keompok tersebut maka akan
cenderung ambruk. Kedua, hilang nya konsensos atau tumang nya persetujuan
terhadap nilai-nilai dan norma (bersumber dari agama) yangemberikan arah dan
makna bagi kehidupan kelompok.
Disamping
ada gerakan yang menawarkan nilai-nilai dan solidaritas baru, ada juga tampil
pola-pola sosial untuk mencari jalan keluar dari pengalaman yang mengecewakan
anomi, nenconteng sumber yang nyata dan mencoba mengambil upaya pelarian yan
telah di sediakan oleh situasi, seperti narkotika, alokohol, kelompok hippiies,
komunikasi non verbal dan upayan lainnnya.Keadaan demikian meninmbulkan
rangsangan dan kepekaan kelompok agama untuk mempermasalahkan suatu masyarakat
dan mendapatkan makna baru berupa pergerakan menawarkan nilai dan solidaritas
baru yang bersifat keagamaan meskipun dalam kenyataan nya kaitan agama dengan
masyarakat dapat merupakan daya penyatu (sentripetal) atau mungkin berpa daya
pemecah (setrifugal).
1.
FUNGSI
AGAMA
Untuk
mendiskusikan fungsi agama dalam masyakat ada 3 aspek penting yang selalu di
pelajari, yaitu kebudayaan, sistem sosial, dan kepribdian. Ketiga aspek
tersebut merupakan kompleks fenomena sosial terpadu yang pengaruhnya dapat
diamati dalam perilaku manusia.
Sebagai
kerangka acuan penelitian empiris, teori fungsional memandang masyarakat
sebagai suatu lembaga sosial yang
seimbang. Manusia mementaskan dan menolak kegiatan nya menurut norma yang
berlaku umum peranan serta statusnya. Lembaga yang demikian kompleks ini secara
keseluruhan merupakan sistem sosial, dimana setiap unsur dari kelembagaan itu
saling tergantung dan menentukan semua unsur lainnya.
Teori
fungsional dalam melihat kebudayaan pengertian nya adalah, bahwa kebudayaan itu
wujud suatu kompleks dari ide-ide , gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan
sistem sosial yang terdiri dari aktifitas-aktiitas manusia-manusia yang
berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan lainnya. Kemudian agama
dengan refrensi transedensi merupakan aspek penting dalam fenomena kebudayaan
sehingga timbul pertanyaan,apakah posisi lembaga agama terhadap kebudayaan merupakan
suatu sistem.
Pertanyaan
nya selanjutnya adalah bagaimana masalah fungsional dlam konteks teori
fungsional kepribadian, dan sejauh mana agama mempertahankan keseimbngan
pribadi dan melakukan fungsinya. Kepribadian dalam hal ini merupakan suatu
dorongan, kebutuhan yang kompleks, kecenderungan bertindak, dan memberikan
tanggapan serta nilai dan sebagainya yang sistematis. Kepribadian sudah terpola
melalui proses belahjar dan atas otonominya sendiri. Sebagai ilustrasi sistem
kepribadian adalah ego, dan super ego yang ada dalam situasi yang terstruktur
secara sosial.
Aksioma
teori fungsional agama adalah segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap
dengan sendirinya. Karena agama sejak dulu sampai saat ini masih ada, mempunyai
fungsi, dan bahkan memerankan sejumlah fungsi. Teori fungsionalis agama juga
memenng kebutuhan “sesuatu yang mentrensendesikan pengalaman” sebagai dasar
dari karakteristik dasar eksistensi manusia meliputi: hapenting bagi keamanan
dan kesejahteraan manusia berada diluar jangkauan nya. Kedua lingkung n manusia
untuk mengendalikan dan mempengaruhi kondisi hidupnya terbatas, dan pada titik
dasar tertentu kondisi manusia dalam kaitan konflik antara keinginan dengan
lingkungan ditandai oleh ketidakberdayaan. Ketiga manusia harus hidup bernmasyarakat,
dimana aula alokasi yang teratur dari berbagai fungsi, fasilitas, dan ganjaran.
Jadi
seorang funsionalis memandang agama sebagai petunjuk bag manusia untuk megatasi
diri dari ketidak pastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan dan agam dipandang
sebagai mechanism penyesuaia yang paling dasar terhadap unsur-unsur tersebut.
Fungsi
agama dalam pengukuhan nilai-nilai bersumber pada kerangka acuan yang bersfat
sacral, maka normanya pun dikukuhkan dengan sanksi-sanksi sacral. Dalam setiap
masyarakt sanksi sacral mempunyai kekuatan memaksa istimewa, karena ganjaran
dan hukuman nya bersifat duniawi dan supermanusiawi dan ukhrawi.
Fungsi
agama dalam bidang sosial adalah fungsi penentu dimana agama menciptakan suatu
ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam
kewajiban-kewajiban I tujuan aksosial dalam membantu mempersatakn mereka.
Fungsi
agama sebagai sosialis individu ialah individu pada saat dia tumbh menjadi
dewasa, memerlukan suatu sistem nilai sebagai semacam tuntutan umum untuk
(mengarahkan) aktifitasnya dalam masyarkat, dan berfngsi sebaga tujuan akhir
dari pengembangan kepribadian nya.
2.
MASYARAKAT-MASYARKAT
INDUSTRI SEKULER
Masyarakat
industri sekuler bercirikan dinamika dan semkin berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan, sebagian
besar penyesuaian-penyesuaian terhadap alam fisik tetapi yang paling penting
adalah penyesuain-penyesuain dalam hubungan-hubungan kemanusiaan sendiri.
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai konsekuensi penting bagi agama. Salah
satu akibatnya adalah anggota masyarakat semakin terbiasa dengan metode empiris
berdasarkan penalaran dan efisiensi dari menanggapi masalah kemanusiaan.
Pada
umumnya kecenderungan sekulerisme mempesempit ruang gerak kepercayan-kepercayan
dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang terbatas pada aspek yang lebih kecil
dan bersifat khusus dalam kehidupan masayarakat dan anggota-anggota nya.
Pernyataan
diatas menimbulkan pertanyaan, apakah masyarakat sekuler akan mampu secara
efektif memperthan kan ketertiban umum tanpa kekerasan instutional apabila
pengaruh agama telah semakin berkurang.Barang kali agama akan beraksi terhadap
institusionalisme, impersonalitas, dan birokrasi masyarakat modern yang semakin
bertambah.
3.
PELEMBAGAAN
AGAMA
Agama
begitu universal, permanen (langgeng), dan mengtur dalam kehidupan. Sehingga
apabila tidak memahami agama akan sukar memahami masyarakat. Hal yang perlu di
jawab dalam memenuhi lembaga agama adalah, apa dan mengapa agama ada,
unsur-unsur dan bentuknya serta funsi dan struktur agama.
Dimemsi
ini mengidentifikasi pengaruh-pengaruh kepercayaan praktek, pengalaman, dan
pengetahuan keagamaan didalam kehidupan sehari-hari. Terkandung makna ajaran
“kerja” dalam pengertian teologis.
Dimemsi
keyakinan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan dapat di terima sebagai dalil
atau dasar analitis. Namun hubungan-hubungan antara ke 4 nya tidak ada
diungkapkan tanpa data empiris.
Kaitan
agama dengan masyarakat dapat mencerminkan 3 tipe, meskipun tidak meggambarkan
sebenarnya secara utuh .
Kebiasaan
pandangan emosional ini akibat ada agama dan segala sifatnya melibatkan
nilai-nilai dasar yang menyebabkan agama itu hamper tidak mungkin di pandang
dengan sikap yang netral. Pengamatan biasanya sampai pada kesimpulan, bahwa
agam bersifat mengelabui pikiran dan terbelakang. Atau menyimpulkan agama bagi
penganutnyaterbaik dan tertinggi. Bila pengamatan tadi mengguraikan nya secara
ilmiah, maka akan memperlihatkan pandangan yang sifatnya menyalahkan atau
membenarkan.
Pendekatan
rasional terhadap agama dengan penjelasan ilmiah biasanya akan mengacu dan
berpedoman pada tingkah laku yang sifatnya ekonomis dan teknologis, dan tentu
kurang baik. Karena dalam tingkah laku unsur rasional akan lebih banyak, dan
bila dikaitkan dengan agama yang melibatkan unsur-unsur pengetahuan di luar
jangkauan manusia (transedental), seperangkat symbol dan keyakinan yang kuat.
Hal ini nampaknya keliru.
Bila
sifat rasional penuh dalam membahas agama yang ada pada manusia, maka berarti
bersfat non agama. Karena itu pendekatan dalam memandang agama hanya sebagai
suatu gejala (fenomena) atau kejadian. Ilmuwan yang menganut pandangan ini,
juga akhirnya kecewa mengetahui adanya manusia dengan sifat non rasional mutlak
atau terus menerus non rasional. Akhirnya ilmuwan akan kembali pada interpretasi
biologis, yang menganggap bahwa agama adalah ungkapan perasaan yang bersifat
naluri (instink), sebenarnya pandangan
ini sama kelirunya karena tingkah laku agama (menurut penganut pada agama ini)
sifatnya tidak rasional, dan kesimpulan nya harus berdasarkan naluri. Justru
sebenarnya tingkah laku agama yang sifatnya tidak rasional ini memberikan
manfaat bagi kehidupan manusia.
Agam
melalui wahyu nya atau kitab sucinya memberikan petunjuk kepada manusia guna
memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu selamat di dunia dan di akhirat. Di dalam
perjuangan nya tentu idak boleh lalai, untuk kepentingan terebut perlu jaminan
yang memberikan rasa aman bagi pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem
kelembagaan dan menjadi sesuatu yang rutin, agam menjadi salah satu aspek
kehidupan semua kelompok sosial, merupakan fenomena yang menyebarkan mulai dari
bentuk perkumpulan manusia. Keluarga, kelompok kerja, yang dalam beberapa hal
penting bersifat keagmaan.
Pengalam
tokoh agama dan juga merupakan pengalaman kharismatik, akan melahirkan suatu
bentuk perkumpulan keagamaan. Yang kemudian menjadi organisasi keagamaan
terlembaga, pengunduran diri atau kematiaan figure kharismatik, akan melahirkan
kerisis kesinambungan analisis yang perlu adalah mencoba memasuka strutur dan pengalaman
agama. Sebab penglaman agama, apabila di bicarakan, akan terbatas pada orang
yang mengalaminya. Hal penting adalah mempelajari “wahyu” atau kitab suci nya.
Sebab lembaga keagmaan itu sendiri merupakanrefleksi dari pegalaman wahyunya.
Lembaga-lembaga
keagamaan pada puncaknya berupa pribadian. Pola ide-ide dan
keyakinan-keyakinan, dan tampil pula sebagai asosiasi atau organisasi. Misalnya
pada kewajiban ibadah haji dan munculnya organisasi keagamaan.
Organisasi
keagamaan tumbuh secara khusus semula dari pengalaman tokoh kharismatik pendiri
organisasi, kemudian menjadi organisasi yang terlermbaga. Muhamaddiyah sebuah
organisasi sosial islam yang penting, di pelopori oleh pribadi kiai haji ahmad
dahlan yang menyebarkan pemikiran Muhammad abduh dari tafsir al-manar ayat suci
al-quran telah memberi inspirasi kepada dahlan unutk mendirikan muhamaddiyah.
Salah satu mottonya adalah, bahwa muhammadiya di pandang sebagai “segolongan
dari kaum” megajak kepada kebaikan, mencegah perbuatan jahat.
Di
contoh sosial, lembaga keagmaan berkembang sebagai pola ibadah, pola ide-ide,
ketentuan (keyakinan), dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi.
Pelembagaan agama puncaknya terjadi pada tingkat intelektual, tingkjat
pemujaaan (ibadah), dan tingkat organisasi.
Tampilnya
organisasi agama adalah akibat adanya “perubahan batin” atau kedalman beragama,
mengimbangi perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas,
produksi, pendidikan, dan sebagainya. Agama menuju ke pengkhususan fungsional.
Pengaitan agama tersebut mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi
keagmaan.
Nama : Suryandaru
NPM : 1A114533
Kelas : 1KA33
No comments:
Post a Comment